skip to main |
skip to sidebar
Sekolah Global di Desa Kecil Kalibening
FINA Af'idatussofa (14) bukan siswa sekolah internasional dan bukan anak
orang berada. Ia lahir sebagai anak petani di Desa Kalibening, tiga
kilometer perjalanan arah selatan dari kota Salatiga menuju Kedungombo,
Jawa Tengah. Karena orangtuanya tidak mampu, ia terpaksa melanjutkan
sekolah di SMP Alternatif Qaryah Thayyibah di desanya. Namun, dalam soal
kemampuan Fina boleh dipertandingkan dengan siswa sekolah-sekolah mahal
yang kini menjamur di Jakarta.
MESKI bersekolah di desa dan
menumpang di rumah kepala sekolahnya, bagi Fina internet bukan hal yang
asing. Ia bisa mengakses internet kapan saja. Setiap pagi berlatih
bahasa Inggris dalam English Morning. Ia pernah menjuarai penulisan
artikel on line di kotanya. Ia juga berbakat dalam olah vokal meski ia
mengatakan tidak ingin menjadi seorang penyanyi.
"Kalau menjadi
penyanyi, pekerjaanku hanya menyanyi. Padahal, cita-citaku banyak. Aku
ingin jadi presenter, aku ingin jadi penulis, pengarang lagu, ilmuwan,
dan banyak lagi? Aku juga ingin berkeliling dunia," kata Fina.
SMP
Alternatif Qaryah Thayyibah resmi terdaftar sebagai SMP Terbuka,
sekolah yang sering diasosiasikan sebagai sekolah untuk menampung
orang-orang miskin agar bisa mengikuti program wajib belajar sembilan
tahun. Namun, siswa SMP Alternatif Qaryah Thayyibah sangat mencintai dan
bangga dengan sekolahnya.
Pukul 06.00 sekolah sudah mulai dan
baru berakhir pada pukul 13.30. Akan tetapi, jam sekolah itu terasa
sangat pendek bagi murid-murid sekolah tersebut sehingga setelah makan
siang mereka biasanya kembali lagi ke sekolah. Mereka belajar sambil
bermain di sekolahnya sampai malam, bahkan tak jarang mereka menginap di
sekolah.
Murid-murid SMP Qaryah Thayyibah memang sangat
menikmati sekolahnya. Bersekolah merupakan sesuatu yang menyenangkan.
Guru bukanlah penguasa otoriter di kelas, tetapi teman belajar. Mereka
bebas berbicara dengan gurunya dalam bahasa Jawa ngoko, strata bahasa
yang hanya pantas untuk berbicara informal dengan kawan akrab.
Di
kelas mereka juga sangat bebas. Mereka bisa asyik mengerjakan soal-soal
matematika dengan bersenda gurau, ada yang mengerjakan soal sambil
bersenandung, yang lain bermain monopoli. Suasana bermain itu bahkan di
taman kanak-kanak pun kini makin langka karena mereka dipaksa oleh
gurunya untuk membaca dan menulis.
SMP Qaryah Thayyibah lahir
dari keprihatinan Bahruddin melihat pendidikan di Tanah Air yang makin
bobrok dan semakin mahal. Pada pertengahan tahun 2003 anak pertamanya,
Hilmy, akan masuk SMP. Hilmy telah mendapatkan tempat di salah satu SMP
favorit di Salatiga. Namun, Bahruddin terusik dengan anak-anak petani
lainnya yang tidak mampu membayar uang masuk SMP negeri yang saat itu
telah mencapai Rp 750.000, uang sekolah rata-rata Rp 35.000 per bulan,
belum lagi uang seragam dan uang buku yang jumlahnya mencapai ratusan
ribu rupiah.
"Saya mungkin mampu, tetapi bagaimana dengan
orang-orang lain?" tuturnya. Bahruddin yang menjadi ketua rukun wilayah
di kampungnya kemudian berinisiatif mengumpulkan warganya menawarkan
gagasan, bagaimana jika mereka membuat sekolah sendiri dengan mendirikan
SMP alternatif. Dari 30 tetangga yang dikumpulkan, 12 orang berani
memasukkan anaknya ke sekolah coba-coba itu. Untuk menunjukkan
keseriusannya, Bahruddin juga memasukkan Hilmy ke sekolah yang
diangan-angankannya.
"Saya ingin membuat sekolah yang murah,
tetapi berkualitas. Saya tidak berpikir saya akan bisa melahirkan anak
yang hebat-hebat. Yang penting mereka bisa bersekolah," kata Bahruddin.
Bahruddin
mengadopsi kurikulum SMP reguler di sekolahnya. Ia menyatakan tidak
sanggup menyusun kurikulum sendiri. Lagi pula sekolah akan diakui
sebagai sekolah berkualitas jika bisa memperoleh nilai yang baik dan
mendapatkan ijazah yang diakui pemerintah. Karena itulah ia memilih
format SMP Terbuka. Akan tetapi, ia mengubah kecenderungan SMP Terbuka
sekadar sebagai lembaga untuk membagi-bagi ijazah dengan mengelola
pendidikannya secara serius.
Sekolah itu menempati dua ruangan di
rumah Bahruddin, yang sebelumnya digunakan untuk Sekretariat Organisasi
Tani Qaryah Thayyibah. Jumlah guru yang mengajar sembilan orang,
semuanya lulusan institut agama Islam negeri dan sebagian besar di
antaranya para aktivis petani.
Guru pelajaran Matematika-nya
seorang lulusan SMA yang kini mondok di pesantren. Akses internet gratis
24 jam diperoleh dari seorang pengusaha internet di Salatiga yang
tertarik dengan gagasan Bahruddin. Dengan modal seadanya sekolah itu
berjalan.
Ternyata pengakuan terhadap keberadaan SMP Alternatif
Qaryah Thayyibah tidak perlu waktu lama. Nilai rata- rata ulangan murid
SMP Qaryah Thayyibah jauh lebih baik daripada nilai rata-rata sekolah
induknya, terutama untuk mata pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris.
Sekolah
itu juga tampil meyakinkan, mengimbangi sekolah-sekolah negeri dalam
lomba cerdas cermat penguasaan materi pelajaran di Salatiga. Sekolah itu
juga mewakili Salatiga dalam lomba motivasi belajar mandiri di tingkat
provinsi, dikirim mewakili Salatiga untuk hadir dalam Konvensi
Lingkungan Hidup Pemuda Asia Pasifik di Surabaya. Pada tes kenaikan
kelas satu, nilai rata-rata mata pelajaran Bahasa Inggris siswa Qaryah
Thayyibah mencapai 8,86.
SMP Alternatif Qaryah Thayyibah juga
maju dalam berkesenian. Di bawah bimbingan guru musik, Soedjono,
anak-anak sekolah bergabung dalam grup musik Suara Lintang. Kebolehan
anak-anak itu dalam menyanyikan lagu mars dan himne sekolah dalam versi
bahasa Inggris dan Indonesia bisa didengarkan ketika membuka alamat
situs sekolah www.pendidikansalatiga.net/qaryah. Grup musik anak-anak
desa kecil itu telah mendokumentasikan lagu tradisional anak dalam
kaset, MP3, maupun video CD album Tembang Dolanan Tempo Doeloe yang
diproduksi sekaligus untuk pencarian dana. Seluruh siswa bisa bermain
gitar, yang menjadi keterampilan wajib di sekolah itu.
Sulit
dibayangkan anak- anak petani sederhana itu masing-masing memiliki
sebuah komputer, gitar, sepasang kamus bahasa Inggris-Indonesia dan
Indonesia-Inggris, satu paket pelajaran Bahasa Inggris BBC di rumahnya.
Semua itu tidak digratiskan. Anak-anak memiliki semua itu dengan
mengelola uang saku bersama-sama sebesar Rp 3.000 yang diterima anak
dari orangtuanya setiap hari. Uang sebesar Rp 1.000 dipergunakan untuk
mengangsur pembelian komputer. Untuk sarapan pagi, minum susu, madu, dan
makanan kecil tiap hari Rp 1.000, sedangkan Rp 1.000 lainnya untuk
ditabung di sekolah. Tabungan sekolah itu dikembalikan untuk keperluan
murid dalam bentuk gitar, kamus, dan lain-lainnya.
Tidak
mengherankan jika anak-anak dan orangtua mereka bangga dengan sekolah
itu. Betapa tidak, di sekolah yang berdekatan dengan rumah di sebuah
desa kecil mereka mendapatkan banyak hal yang tidak diperoleh di
sekolah-sekolah yang dikelola dengan logika dagang.
Ismanto (43)
menceritakan, anaknya sempat down saat mendaftar SLTP di Salatiga dua
tahun lalu. Uang masuknya Rp 200.000, belum termasuk buku dan seragam.
Tidak ada seorang murid pun ke sekolah dengan berjalan kaki selain
anaknya, Emi Zubaiti (13). Kini Emi menjadi seorang anak yang pandai
dalam berbagai mata pelajaran, pintar bernyanyi, dan percaya diri. Ia
tidak pernah membayangkan bisa menyekolahkan Emi, anak pasangan tukang
reparasi sofa dan bakul jamu gendong, mendapat sekolah yang baik.
Bahkan
Ismanto ikut menikmati komputer yang dikredit dari uang saku anaknya.
Dibimbing anaknya, sekarang Ismanto mulai belajar komputer. "Tidak
pernah terpikir, saya bisa membelikan komputer. Kini saya malah bisa
ikut menikmati," kata Ismanto.
Catatan pribadi :
---------------------
Nah,
kita liat sample aja yah. Bukan berarti pendidikan harus mahal kan?
Bisa murah tapi berkualitas. Pendidikan murah berkualitas bukanlah
sesuatu yang utopis, tapi bisa dicapai dengan tekad. Siapa bilang
sekolah harus mahal?
0 komentar:
Posting Komentar