1.1. Latar Belakang
Musik
merupakan sarana budaya yang hadir dalam masyarakat sebagai konstruksi
dari realitas sosial yang dituangkan dalam bentuk lirik lagu. Pada awalnya
kebutuhan lagu digunakan untuk kepentingan upacara adat dan upacara
ritual. Tetapi, seiring perkembangan masyarakat musik telah
tertransformasi bergeser menjadi sebuah komoditi yang
dikomersialisasikan dan menjadi barang ekonomi yang diperjualbelikan.
Menurut Djohan (2003 :
7-8), bahwa musik merupakan perilaku sosial yang kompleks dan universal
yang didalamnya memuat sebuah ungkapan pikiran manusia, gagasan, dan
ide-ide dari otak yang mengandung sebuah sinyal pesan yang signifikan
.
Pesan
atau ide yang disampaikan melalui musik atau lagu biasanya memiliki
keterkaitan dengan konteks historis. Muatan lagu tidak hanya sebuah
gagasan untuk menghibur, tetapi memiliki pesan-pesan moral atau
idealisme dan sekaligus memiliki kekuatan ekonomis.
Perkembangan musik dewasa ini lebih menyesuaikan dengan
selera pasar, sehingga industri musik lebih banyak melahirkan lagu-lagu
yang laku keras dipasaran, misalnya lagu-lagu pop yang bertemankan
percintaan. Hal ini berbeda sekali dengan misi-misi dari musisi yang
peduli pada kondisi sosial, misalkan Iwan Fals, Franky Sahilatua, Sawung
Jabo, Setiawan Djody, atau pun Grup Musik Kantata, Slank, Edane dan
lain-lain. Walaupun demikian perkembangan lagu-lagu yang bertemakan
kritik sosial ternyata juga dimanfaatkan oleh industri musik untuk
mendapatkan akumulasi modal yang semakin besar.
Iwan Fals merupakan sosok yang cukup konsisten dalam perjuangan menggugat Orde Baru. Kritik-kritik
pedas dan lugas selalu dilontarkan dalam setiap karyanya. Wacana kritik
dalam karya Iwan Fals ternyata didukung oleh sebagian besar masyarakat
terutama lapisan bawah, karena lagu tersebut mewakili dan menyuarakan
hati nurani rakyat. Dukungan itu termanifestasikan dengan terbentuknya
fans-fans fanatik yang sering disebut Oi (Orang Indonesia).
Selama
Orde Baru,
banyak jadwal acara konser Iwan yang dilarang dan dibatalkan oleh
aparat pemerintah, karena lirik-lirik lagunya dianggap dapat memancing
kerusuhan. Pada awal karirnya, Iwan Fals banyak membuat lagu yang
bertema kritikan pada pemerintah. Beberapa lagu itu bahkan bisa
dikategorikan terlalu keras pada masanya, sehingga perusahaan rekaman
yang memayungi Iwan Fals tidak berani memasukkan lagu-lagu tersebut
dalam album untuk dijual bebas
.
Berikut dapat dilihat dalam Tabel 1. Beberapa lagu yang bernada kritik terhadap Hegemoni Rezim Orde Baru :
Tabel 1. Lagu-Lagu Iwan Fals
Bertema Kritik Terhadap Hegemoni Orde Baru
No
|
Judul Lagu
|
Album / Tahun
|
Tema Kritik
|
1
|
Sarjana Muda
|
Sarjana Muda / 1981
|
Kritik terhadap menyempitnya lapangan kerja.
|
2
|
Galang Rambu Anarki
|
Opini / 1982
|
Kritik terhadap kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat.
|
3
|
Tak Biru Lagi Lautku
|
Opini / 1982
|
Kritik terhadap pembangunan yang merusak lingkungan (laut).
|
4
|
Siang Seberang Istana
|
Sugali / 1984
|
Kritik terhadap kesenjangan dan ketidakadilan nagara.
|
5
|
Sore Tugu Pancoran
|
Sore Tugu Pancoran / 1985
|
Kritik terhadap ketidakadilan (potret anak jalanan).
|
6
|
Tikus Kantor
|
Ethiopia / 1986
|
Kritik terhadap budaya korupsi dalam birokrasi patronase.
|
7
|
Wakil Rakyat
|
Wakil Rakyat / 1987
|
Kritik terhadap anggota dewan yang tidak memperjuangkan hak-hak rakyat.
|
8
|
Lancar
|
Lancar / 1987
|
Kritik terhadap pembangunan yang tidak adil.
|
9
|
Bento
|
SWAMI / 1989
|
Kritik terhadap penguasa / eksekutif
|
10
|
Bongkar
|
SWAMI / 1989
|
Kritik terhadap penguasa yang otoriter.
|
Sumber : Album-Album Iwan Fals
Lagu-lagu
tersebut hanya sebagian kecil dari banyak lagu Iwan Fals yang
menyuarakan wacana kritis terhadap kehidupan di zaman Orde Baru. Tema
kritik tersebut setidaknya telah mematahkan wacana trilogi pembangunan,
karena pemerataan yang diharapkan dari pembangunan tidak pernah
terwujud. Pembangunan nasional yang berlandaskan pada ”Trilogi Pembangunan” hanya sebuah narasi besar dan sebuah mitos belaka.
Tetapi
keberhasilan lagu-lagu Iwan Fals tersebut dapat juga dilihat sebagai
sebuah pemanfaatan isu yang dikonsturksikan dalam bentuk lagu yang
akhirnya mengehegemoni masyarakat sebagai pendengar dan juga sebagai
konsumen produk industri musik. Kondisi tersebut memperlihatkan adanya
komodifikasi terhadap wacana kritik sosial, sehingga esensi kritik
terebut patut dipertanyakan.
Menarik
untuk dianalisis dalam paper ini bagaimana sebuah komodifikasi itu
hadir dalam lirik-lirik lagu yang bertemakan kritik sosial, dalam hal
ini yaitu lagu “Galang Rambu Anarki, dan Sore Tugu Pancoran,“.
Kondisi ini memperlihatkan adanya pertarungan antara idealisme musisi
dan industri musik yang secara tidak langsung menjadi corong utama dalam
pemasaran lagu tersebut. Sehingga memunculkan pertanyaan apakah
lirik-lirik kritik sosial yang idealis itu hanya sebuah komoditi untuk kepentingan ekonomi politik kapitalis ?, atau adakah pesan tersebut menjadi inspirasi bagi perubahan sosial dalam masyarakat ?.
1.2. Permasalahan
Dari uraian latar belakang tersebut yang menjadi permasalahan dalam paper ini yaitu :
1) Apakah yang di kritik dalam lirik lagu Iwan Fals, Galang Rambu Anarki dan Sore Tugu Pancoran ? dan Adakah kemungkinan kritik tersebut menjadi inspirasi bagi perubahan sosial dalam masyarakat ?
2) Bagaimana
kritik sosial (idealisme) dalam lirik lagu Iwan Fals, tergadai atau
terkomodifikasi oleh kepentingan ekonomi politik industri musik ?
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan paper ini adalah untuk mengetahui dan memahami kritik
sosial dalam lirik lagu Iwan Fals, serta kemungkinan kritik tersebut
menjadi inspirasi bagi perubahan. Selain itu untuk mengetahui dan
membongkar kepentingan ekonomi politik dibalik lagu-lagu Iwan Fals.
1.4. Subjek Analisis
Paper ini menggunakan subjek analisis berupa tiga lirik lagu Iwan Fals Galang Rambu Anark, dan Sore Tugu Pancoran. Kritik
dalam tiga lagu tersebut merupakan representasi dari kritik terhadap
kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat pada masa Orde Baru dan
berbagai ketimpangan-ketimpangan sosial. Berikut dalam Tabel 2. Lirik
lagu-lagu tersebut
Tabel. 2. Lirik Lagu ”Galang Rambu Anarki,
dan Sore Tugu Pancoran”
Galang Rambu Anarki
(Album Opini , 1982)
|
Bento
(Swami II, 1991)
|
Galang Rambu Anarki anakku
Lahir awal Januari
Menjelang pemilu
Galang Rambu Anarki dengarlah
Terompet tahun baru
Menyambutmu
Galang Rambu Anarki ingatlah
Tangisan pertamamu
Ditandai BBM membumbung tinggi
Maafkan kedua orang tuamu kalau
(Tak mampu beli susu)
BBM naik tinggi (susu tak terbeli)
Orang pintar tarik subsidi
Mungkin bayi kurang gizi
Galang Rambu Anarki anakku
Cepatlah besar matahariku
Menangis yang keras janganlah ragu
Tinjulah congkaknya dunia buah hatiku
Doa kami di nadimu
Galang Rambu Anarki dengarlah
Terompet tahun baru
Menyambutmu
Galang Rambu Anarki ingatlah
Tangisan pertamamu
Ditandai BBM melambung tinggi
Maafkan kedua orang tuamu kalau
(Tak mampu beli susu)
BBM naik tinggi (susu tak terbeli)
Orang pintar tarik subsidi
Anak kami kurang gizi
Galang Rambu Anarki anakku
Cepatlah besar matahariku
Menangis yang keras janganlah ragu
Tinjulah congkaknya dunia buah hatiku
Doa kami di nadimu
Cepatlah besar matahariku
Menangis yang keras janganlah ragu
Hantamlah sombongnya dunia buah hatiku
Doa kami di nadimu.
|
Namaku Bento rumah real estate
Mobilku banyak harta berlimpah
Orang memanggilku bos eksekutive
Tokoh papan atas atas s'galanya asyik . . .
Wajahku ganteng banyak simpanan
Sekali lirik oke sajalah
Bisnisku menjagal jagal apa saja
Yang penting aku menang aku senang
Persetan orang susah karena aku
Yang penting asyik sekali lagi asyik . . .
Khotbah soal moral omong keadilan sarapan pagiku
Aksi tipu-tipu lobbying dan upeti oh . . . jagonya . ..
Maling kelas teri bandit kelas coro itukan tong sampah
Siapa yang mau berguru datang padaku
Sebut tiga kali namaku Bento . . . .Bento . . . . Bento . . .
Asyik . . . . . . . ! ! ! ! ! ! Asyik . . . . . .
|
Kritik terhadap kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat (keniakan BBM)
|
Kritik terhadap penguasa yang sewenang-wenang.
|
Sumber : Album-album lagu Iwan Fals
1.5. Metode Analisis
Metode
Critical Discourse Analysis (CDA) digunakan untuk menganalisis dan
menafsirkan teks-teks lagu sebagai sumber data utama, selain itu
menjelaskan tumbuhnya kesadaran akan perubahan sosial dari lirik yang
bertema kritik sosial tersebut. Dan digunakan untuk melihat kepentingan
apa yang ada di balik lagu-lagu tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Kritik Sosial dan Inspirasi Perubahan dalam Lirik Lagu Iwan Fals ”Galang Rambu Anarki dan Bento“.
Karya seni berfungsi untuk menginventarisasikan sejumlah besar kejadian-kejadian, yaitu kejadian yang telah dikerangkakan dalam pola-pola kreativitas dan imajinasi. Lagu
sebagai bagian dari seni memiliki konteks yang juga menginventariskan
kejadian-kejadian, tetapi tidak semua lagu memiliki makna sebagai
gambaran terhadap realitas sosial. Hal ini dikarenakan perkembangan
dewasa ini lagu atau seni musik lebih dekat pada industri musik dan
kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan pasar, sehingga pengertian tersebut
tidak cukup relevan diera ini.
Lagu Iwan Fals ”Galang Rambu Anarki dan Bento” dalam
paper ini menggambarkan wacana kritis dari musisi yang
mengkonstruksikan dunia sosialnya dalam gubahan lagu yang mewakili
kondisi saat itu yaitu dimana Orde Baru. Berikut uraian kritik sosial
dan inspirasi perubahan dalam kedua lagu tersebut :
2.1.1. Galang Rambu Anarki sebuah Kritik Terhadap Kebijakan Pemerintah yang tidak Berpihak Pada Rakyat.
Lagu ”Galang Rambu Anarki”, keluar pada Tahun 1982 dalam Album Opini. Album tersebut menjadi lebih ‘nakal’ liriknya. Lagu Galang Rambu Anarki menyentuh emosi pendengarnya, rupanya Iwan Fals pandai mengambil momen kenaikan harga BBM
yang dianggap tinggi saat itu bersamaan dengan kelahiran anak
pertamanya menyebabkan harga-harga menjadi melonjak. Lagu tersebut
sempat menjadi hits pada waktu itu karena dianggap mewakili suara dan
jeritan masyarakat.
”Galang Rambu Anarki ingatlah
Tangisan pertamamu
Ditandai BBM membumbung tinggi...”
Dalam lirik tersebut menceritakan kelahiran anak
Iwan Fals yaitu Galang Rambu Anarki yang dijadikan judul lagu.
Bertepatan pada waktu kenaikan BBM yang cukup meresahkan masyarakat pada
Tahun 1982-an. Lirik lagu tersebut menekankan sebuah kritik yang cukup
tajam, lugas dan cukup berani, apalagi ketika itu posisi negara begitu
kuat sehingga kritik yang menyentuh pemerintah bisa saja berurusan
dengan pihak keamanan.
Kemudian kritik dalam lagu tersebut dilanjutkan dengan lirik akibat dari kebijakan tersebut seperti dalam kutipan berikut
”Maafkan kedua orang tuamu kalau
(Tak mampu beli susu)
BBM naik tinggi (susu tak terbeli)
Orang pintar tarik subsidi
Mungkin bayi kurang gizi..”
Ketika
dilirik awal sebagai pemunculan isu utama yaitu kenaikan BBM sebagai
lirik pembuka. Lirik berikutnya memperlihatkan kondisi yang bakalan
terjadi yaitu ”BBM naik tinggi (susu tak terbeli)....,Mungkin anak kami kurang gizi”. Kata-kata yang terkandung dalam lirik tersebut sepertinya mulai masuk ke ranah realitas sosial dan ranah politik. ”Orang pintar tarik subsidi” merupakan lirik yang menuju pada sasaran yang akan diserang dalam kritikan tersbut yaitu pengambil kebijakan.
Lirik berikutnya merupakan sebuah perlawanan dari realitas yang telah diurai dalam lirik-lirik awal ;
”Galang Rambu Anarki anakku
Cepatlah besar matahariku
Menangis yang keras janganlah ragu
Tinjulah congkaknya dunia buah hatiku
Doa kami di nadimu...
”Tinjulah congkaknya dunia buah hatiku...” adalah lirik pembebasan yang mengisyaratkan harus adanya
perlawanan terhadap kebijakan yang tidak berpihak tersebut. Pengulangan
lirik yang terakhir sebanyak tiga kali, mengindikasikan bahwa Iwan Fals ingin menegaskan perlunya perlawanan terhadap kondisi sosial yang tidak berpihak seperti yang terjadi pada waktu itu.
Lagu
tersebut mendapat sambutan yang cukup luas dimasyarakat terutama
kalangan masyarakat menengah kebawah, dan juga para aktivis pergerakan.
Kritik pedas dan lugas tersebut ternyata membuat pemerintahan pada waktu
itu cukup geram sehingga beberapa konser Iwan Fals sempat dicekal,
karen dianggap mengganggu stabilitas dan memancing kerusuhan.
Teror-teror terhadap Iwan Fals juga hadir dalam setiap waktu. Dalam
kutipan berikut saat diwawancari oleh majalah THE ROLLING STONE, mengenai teror yang pernah dialami : ”Waktu itu kaca rumah saya dipecahin. Saya punya bayi kan waktu itu. Jadi buat jaga-jaga. Eh keterusan.
Dalam
setiap Album Iwan Fals selalu ada lagu-lagu yang bertemakan kritik
sosial, inilah ciri khas dari musisi tersebut. Lagu-lagu tersebut sempat di larang pada waktu Orde Baru, dan banyak lagu-lagu yang tidak dipasarkan karena memiliki kritik yang begitu tajam. Melihat
kondisi seperti ini sangat sulit mangatakan bahwa kepentingan ekonomi
kapitalis dalam hal ini industri musik menjadi corak utama dalam setiap
lagu Iwan Fals. Walaupun demikian sisi-sisi idealisme dalam lirik lagu
tersebut masih tetap menjadi warna tersendiri. Sehingga memunculkan
asumsi bahwa tedapatnya pertarungan antara musisi yang idealis dengan
industri musik yang lebih berorintasi pada pasar.
2.1.2. Bento Sebuah Kritik terhadap Penguasa yang Diktator (Bos Eksekutif).
Bento judul lagu yang menggema di penjuru negeri pada tahun 1990-an.
Lagu tersebut memberikan warna perlawanan yang cukup radikal dimasa
itu. Hingga penguasa merasa risih dengan konser-konser dan lantunan
lagu-lagu yang terlalu kritis mengkritisi pemerintah. Lagu Bento cukup
kontroversial menurut Iwan Fals :
”Lagu tersebut menceritakan tentang penindasan. Tapi pada waktu itu di plintir oleh siapa saya nggak tahu. Kan menarik waktu itu Bento muncul singkatan-singkatan di media. Benteng Soeharto, Benci Soeharto. Buat jualan media itu bagus. Saya sempat bangga juga soal itu. Kan ditulis oleh Koran-koran hahaha…”
Itulah sepenggal catatan dari hasil wawancara wartawan ”The Rolling Stone”. Dalam lirik lagu tersebut bento
diibaratkan sebagai penguasa yang memiliki harta melimpah, dan disebut
juga sebagai bos eksekutif, berikut kutipan lirik lagu tersebut :
”Namaku Bento rumah real estate
Mobilku banyak harta berlimpah
Orang memanggilku bos eksekutive
Tokoh papan atas atas s'galanya asyik . . .
Lirik
tersebut cukup kena menyerang pemerintah atau bos eksekutif, sehingga
konser ke 100 kota batal dilakukan karena dilarang oleh pemerintah, yang
dianggap akan membuat kerusuhan dan kericuhan. Kediktatoran
penguasa yang digambarkan dalam lagu tersebut selalu menindas
kepentingan orang-orang kecil atau rakayat. Tanpa memperdulikan orang
disekelilingnya, sebuah gambaran yang sebenarnya membangkitkan semangat
pembebasan diwaktu itu. Hal ini tercermin dalam lirik lagu berikut :
”Bisnisku menjagal jagal apa saja
Yang penting aku menang aku senang
Persetan orang susah karena aku
Yang penting asyik sekali lagi asyik . . .”
Kritikan
dalam lagu tersebut dilanjutkan dengan lirik yang lebih nakal lagi yang
semakin menyudutkan penguasa pada waktu itu, berikut lirik selanjutnya :
”Khotbah soal moral omong keadilan sarapan pagiku
Aksi tipu-tipu lobbying dan upeti oh . . . jagonya ...”
Semua
aksi dan tindakan dilakukan dengan kesewenangan tetapi diikuti oleh
pembenaran moral dan keadilan. Inilah gambaran riil dari kuatnya nagara
pada waktu Orde Baru.
Orde
baru merupakan suatu rezim yang telah memberikan berbagai catatan
sejarah panjang dari kekuasaan otoriter yang menghegemoni masyarakat.
Kekuasaan negara yang begitu kuat membelenggu sendi-sendi kehidupan
setiap warga negara. Kenyamanan dan keserasian yang diciptakan dengan
bingkai represif, penggunaan aparat negara dalam penciptaan tatanan
tersebut ternyata menjadi bara dalam sekam (bahaya laten), yang akhirnya
meledak menjadi benturan keras
antara rakyat dan negara hingga jatuhnya rezim orde baru ditangan rakyat
dan kelas menengah pada tahun 1998.
Sebelum
terjadinya gelombang perlawanan besar-besaran hingga tergulingnya Orde
Baru pada Tahun 1998. Iwan Fals dengan lagu-lagu kritiknya sudah lebih
dahulu mengkritik pemerintah. Hal ini juga didukung oleh pendapat
Setiawan Djodi “Sebelum orang ngomong apa-apa soal Soeharto saya sudah menyanyian “Bongkar”. Saya sudah menyanyikan “Bento”.
Kritikan
tersebut sebagai reaksi terhadap kondisi sosial pada waktu itu, telah
menjadi inspirasi bagi perubahan sosial dalam masyarakat. Hal ini
sejalan dengan tujuan karya seni yaitu sebagai motivator kearah aksi
sosial yang lebih bermakna, sebagai pencari nilai-nilai kebenaran yang
dapat menangkat situasi dan kondisi alam semesta.
Selain
itu dalam konteks lain pendapat Abdullah Sumrahdi, bahwa fungsi musik
rock yang berisikan kritik sosial semacam pelengkap yang menikmatkan,
yang menghibur, atau sebagai suatu alat pengingat bagi kesadaran kepada
suatu peristiwa atau nilai tertentu.
Lagu
sebagai bagian dari bisnis industri musik, telah memberikan analisis
yang berbeda dalam kacamata ekonomi politik. Bahwa kritik sosial
tersebut akhirnya telah dijadikan komoditi yang dijual oleh industri
musik demi akumulasi modal atau profit. Sehingga esensi dari kritik
sudah terkomodifikasi dalam bisnis industri musik.
2.2. Idealisme Tergadai ; Komodifikasi Kritik Sosial dalam Lagu Iwan Fals ”Galang Rambu Anarki dan Bento“.
Bahasan
ini memperlihatkan perdebatan antara visi idealisme musisi dengan
kepentingan industri musik yang selalu menyesuaikan keinginan pasar. Menurut Adorno ”segala kehidupan musik masa kini didominasi oleh bentuk komoditas yang ditujukan untuk pasar”. Asumsi dasar inilah yang mempertegas mengenai tergadainya idealisme dalam industri budaya dalam hal ini industri musik.
Lagu-lagu Iwan Fals tidak dapat disangkal dan diragukan lagi sebagai bentuk dari kritik sosial. Galang Rambu Anarki dan Bento, merupakan
representasi dari gugatan yang selalu menyelimuti lagu-lagu Iwan Fals.
Tetapi industri musik telah menjadikannya sebagai barang komersial.
Album dari lagu-lagu
tersebut terjual laris dipasaran, keuntungan yang diraih oleh produser
musik dan juga musisinya cukup melimpah. Suksesnya album-album tersebut
dikarenakan matangnya pemotretan isu oleh musisi dan juga peluncuran
album yang telah di setting oleh industri musik, melalui survei dan lain
sebagainya. Adorno menggambarkan kondisi ini dimana ”asas pertukaran
telah mengaburkan sekaligus mendominasi asas manfaat”.
Pesan
moral berupa kritik sosial menjadi bias ketika dihadapkan dengan
industri musik yang mengedepankan akumilasi modal yang sebesar-besarnya.
Semuanya diobjektivikasi dalam pengertian uang. Pada giliranya hal ini
mengandung pengertian bahwa asas pertukaran atau harga tiket, album
menjadi asas manfaat yang bertolak belakang dengan pertunjukan musik,
asas manfaat sebenarnya yang melatarbelakanginya.
Komersialisasi
musik Iwan Fals yang bertemakan kritik sosial, sama halnya dengan
komersialisai musik jazz, yang telah menghilangkan spirit utama yaitu anti dominasi, hegemoni, rutinisasi, masifikasi, dan tidak lebih dari sekedar McDonaldisasi Jazz, dengan tujuan semata-mata mencari profit.
Lagu ”Galang Rambu Anarki”
dalam Album Opini Tahun 1982 di produksi oleh Musica Studio. Peluncuran
album tersebut dengan lagu yang menyuarakan hati nurani masyarakat,
menjadikan lagu tersebut cukup akrab didengar oleh masyarakat khususnya
kelas menengah kebawah. Kondisi ini memperlihatkan pandainya Iwan Fals
dan Musica Studio mengambil momen keniakan BBM untuk meluncurkan lagu
tersebut. Sehingga lagu tersebut lagu keras dipasaran, inilah semangat
ekonomi atau etos kapitalis yang akhirnya menghasilkan profit yang
tinggi.
Begitu juga dengan lagu ”Bento” dalam Album Swami II Tahun 1992. lagu tersebut
menjadi hits, dan bahkan masih sering terdengar saat ini. Nuansa
kritikan tajam terhadap, penguasa yang mulai tidak populer, menjadi
konsumsi yang semua kalangan. Dimuatnya di berbagai media masa mengenai
lagu tersebut, berkorelasi positif dengan angka penjualan album yang meningkat tajam.
Lagu-lagu
kritik sosial Iwan Fals digandrungi oleh hampir semua generasi tua
hingga muda. Fans-fans ada diseluruh Indonesia yang dulunya menamakan
diri ”Fals Mania” kemudian pada Tahun 1999 dibentuk ”Yayasan Orang
Indonesia” atau sering disebut Oi (Orang Indonesia). Banyaknya fans
fanatik memberikan nilai poin plus bagi industri musik yang akan meraup
untung dari setiap lirik yang di rilis oleh Iwan Fals. Sehingga
komodifikasi lirik-lirik kritik sosial dalam lagu Iwan Fals tidak
terelakkan lagi. Kondisi tersebut seperti yang dikatakan oleh Vincent
Mosco, sebagai komodifikasi dimana barang atau jasa yang memiliki nilai
guna ditransformasikan menjadi komoditi yang memiliki nilai jual di
pasaran.
Diakhir
tulisan sebenarnya ada pertarungan yang alot antara idealisme musisi
dengan industri budaya. Tetapi akhirnya terjadinya kesepakatan antara
kedua pihak yaitu untuk memproduksi produk yang kira-kira bakalan laku
keras di pasaran. Lagu
hanya menjadi produksi massal yang manipulatif demi profit yang
maksimal. Itulah gambaran dari lirik-lirik lagu Iwan Fals yang
bertemakan kritik sosial yang menjadi konsumsi masyarakat. Masyarakat
atau penikmat musik tergantung dengan hegemoni lirik-lirik pembebasan
yang sebenarnya mengingkari makna kebebasan yang terkadung dalam lirik
lagu-lagu tersebut.
Hal
ini sejalan dengan asumsi Adorno, bahwa kebudayaan yang berbasis
komoditas sebagai sesuatu yang tidak autentik, manipulatif dan tidak
memuaskan. Kebudayaan massa kapitalis terkomodifikasi tidak autentik
karena tidak dihasilkan oleh msayarakat, manipulatif karena tujuan
utamanya agar dibeli oleh konsumen. Kebudayaan kini sepenuhnya saling
berpautan dengan ekonomi politik dan produksi kebudayaan oleh
perusahaan-perusahaan kapitalis.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Lagu
Iwan Fals sebagain besar bertemakan kritik sosial, cukup mendapat
perhatian dari kalangan pencinta musik dari awal ia berkarir di dunia
musik hingga saat ini. Misi-misi kemanusian, menyoroti
ketimpangan-ketimpangan, kritik terhadap kesewenangan, ketidakadilan dan
masalah sosial maupun masalah politik yang lainnya.
Industri
musik dibelakang nama besar Iwan Fals, telah memperoleh keuntungan yang
cukup besar. Tidak hanya industri musik, musisi tersebut juga
mendapatkan profit yang cukup tinggi, dengan agendanya menjual misi
sosial demi kesenangan publik yang merasa terwakili oleh sentuhan
lirik-lirik pembebasan Iwan Fals. Galang Rambu Anarki dan Bento adalah
salah satu dari banyak lagu yang menjadi hits dan laris dipasaran.
Kondisi
tersebut memperlihatkan adanya manipulasi budaya. Atau dengan bahasa
lain, dalam analisis musik pop Adorno, bahwa asas pertukaran mengaburkan
sekaligus mendominasi asas manfaat.
2. Saran
Kepentingan
ekonomi politik dibalik lagu-lagu yang bertemakan kritik sosial telah
mengkaburkan esensi dari pesan moral yang disampaikan, dan terasa bias.
Sehingga dibutuhkannya sebuah mekanisme kerjasama yang lebih sportif
antara musisi yang idealis dengan industri musik yang beorientasi
profit, agar semua kepentingan bisa terwakili dalam setiap produk budaya
berupa lagu tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar